Senin, 16 Oktober 2017

Hadis Tentang Larangan Jual Beli

Hadis Tentang Larangan Jual Beli



  1. JENIS JUAL BELI YANG DILARANG DALAM ISLAM
Transaksi jual beli merupakan kegiatan yang sudah lama dikerjakan orang-orang sejak dahulu. Jual beli di dalam Islam (ekonomi syariah) termasuk pada bagian muamalah, hal ini menjadikan setiap kegiatan transaksi jual beli yang kita lakukan telah di atur oleh agama dan secara sistematis telah ada aturan kebolehan dan rambu-rambu larangan pada setiap transaksi jual beli, tujuannya ialah untuk menciptakan kemaslahatan dalam berbisnis dan menghilangkan segala kemudharatan di dalamnya.
Islam telah membuat semua peraturan  dan larangan dalam jual beli untuk mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, tujuannya agar terjadi transaksi yang adil dan tidak merugikan satu sama lain, sebagaimana firman Allah SWT,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةًعَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu...” (Q.S An-nisa [4] : 29)
Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh), sebagaimana dijelaskan pada kaidah fiqh.
اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Artinya : “Hukum asal semua bentuk muamalah adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang mengharamkannya (melarang)”


Berikut beberapa jenis jual beli yang dilarang di dalam Islam :
  1. Jual beli barang yang belum diterima, seorang muslim tidak boleh membeli suatu barang kemudian menjualnya padahal ia belum menerima barang dagangan tersebut, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah SAW, “ Jika engkau membeli sesuatu, engkau jangan menjualnya hingga engkau menerimanya. (H. R. Tabrani). Sabda Rasulullah SAW, “ Barang siapa membeli makanan, ia jangan menjualnya hingga menerimanya.” (H. R. Al Bukhari).
  2. Jual beli seorang muslim dari muslim lainnya, seorang muslim tidak boleh jika saudara seagamanya telah membeli sesuatu barang seharga lima ribu rupiah misalnya, kemudian ia berkatakepada penjualnya. “ Mintalah kembali barang itu, dan batlkan jual belinya, karena aku akan membelinya darimu seharga enam ribu, ‘ karena Rasulullah SAW bersabda, “ janganlah sebagian dari kalian menjual di atas jual beli sebagian lainya, “(H.R. Muttafun ‘alaih).
  3. Jual beli najasy, seorang  tidak boleh menawar suatu barang dengan harga tertentu padahal ia tidak ingin membelinya, namun ia berbuat seperti itu agar diikuti para penawar lainya kemudian pembeli tertarik membeli barang tersebut. Seorang muslim juga tidak boleh berkata kepada pembeli yang ingin membeli suatu barang,” Barang ini dibeli dengan harga sekian”, ia berkata bohong untuk menipu pembeli tersebut, ia bersekongkol dengan penjual atau tidak, karena Abdullah bin Umar Ra berkata, “Rasulullah SAW melarang jual beli najasyi. “ Rasulullah SAW bersabda, “ Janganlah kalian saling melakukan jual beli najasiyi.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih).
  4. Jual beli barang-barang haram dan najis , seorang muslim tidak boleh menjual barng-barang haram, barang-barang najis dan barang-banrang yang menjurus kepada haram. Jadi ia tidak boleh menjual minuman keras, babi, bagkai, berhala, dan anggur yang hendak dijadikan minuman keras, karena dalil-dalil berikut: sabda rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala. Rasulullah SAW bersabda: ‘”Barang siapa menahan anggur pada hari-hari panen untuk ia jual kepada orang Yaudi, atau orang kristen atau orang yang akan menjadikan sebagian minuman keras, sungguh ia menceburkan diri ke neraka dengan jelas sekali. (H.R.Mutaffaqun ‘alaih ). Bukhori:
حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بَنُ بَشَّا رٍ حَدَّ ثَنَا غُنْدَ رُ حَدَّ ثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْ مَنْصُرٍ عَنْ أَ بِيِ ا لضُّحَى عَنْ مَسْرُ و قٍ عَنْ عَا ئِشَةَ رَ ضِيَ ا للَّهُ عَنْهَا قَا لَتْ لَمَّا نَزَ لَتْ آ خِرُ ا لْبَقَرَ ةِ قَرَ أَ هُنَّ ا لنَّبِيُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَيْهِمْ فِي ا لْمَسْجِدِ ثُمَّ حَرَّ مَ ا لتَّجَا رَ ةَ فِي ا نَمْرِ
Dari Aisyah, ia berkata: “Ketika turun akhir surat al-Baqarah, Nabi membacakanya pada sahabat di masjid kemudian mengharamkan perdagangan khomer.”
(Mata lain: Muslim 2985, Nasa’i 4586, Abi Daud 3086, Ahmad 23063) 1
  1. Jual beli gharar (ketidakjelasan). Jadi ia tidak boleh menjual ikan di air, atau anak hewan yang masih dalam perut induknya atau buah-buahan yang belum masak, biji-binijan yang belum mengeras atau menjual barang tanpa penjelasaan sifatnya. Sabda Rasulullah SAW. “ Janganlah kalian membeli ikan di air, karena itu gharar.” (H. R. Mutaffaqun ‘alaih).
Darimi:
  أَحبر نا مُحَمَّدُ بنُ عِيْسَى عِيْسَى حَدَّ ثَنَا يَحْيَ الْقَطّا نُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَ بِى ا لزَّ نَا دِ عَنِ اْ لأَ عَنْ أَ بِى هُرَ يْرَ ةَ قَا لَ نَهَى رَ سُوْ لُ ا للَّهِ صَلَى ا للَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمْ عَنْ بَيْعِ ا لْغَرَ رِ
Abi Hurairah berkata: ”Nabi melarang jual beli gharar (spekulasi)
(Mata lain: Muslim 2782 Turmudzi 1151, Nasa’ 14442, Abi daud 2932, Ibnu Majah 2185, Ahmad 9255)
  1. Jual beli dua barang dalam satu akad, sorang muslim tidak boleh melangsungkan dua jual beli  dalam satu akad, namun ia harus melangsungkan keduanya sendiri-sendiri , karena di dalamnya terdapat ketidak jelasan yang membuat orang muslim lainya tersakiti atau memakan hartanya dengan tidak benar. Dua jual beli dalam satu akad mempunyai banyak bentuk, misalnya penjual berkata kepada pembeli, aku jual barang ini kepadamu seharga sepuluh ribu kontan atau lima belas ribu sampai waktu tertentu (kredit).” Setelah itu akad jual beli dilangsungkan dan penjual tidak menjelaskan jual beli manakah (kontan atau kredit) yang ia kehendaki.
  2. Jual beli urbun (uang muka), seorang muslim tidak boleh melakukan jual beli urbun, atau mengambil uang muka secara kontan, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli urbun  (Imam Malik dalam Al-Muwatha). Tentang jual beli urbun, Imam Malik menjelaskan bahwa jual beli urbun ialah seseorang membeli sesuatu atau menyewa hewan, kemudian berkata kepada penjual, “Engkau aku beri uang satu dinar degan syarat jika kau membatalkan jual beli, maka aku memberimu uang sisanya.”
  3. Menjual sesuatu yang tidak ada pada penjual, seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada padanya atau sesuatu yang belum dimilikinya, karena hal tersebut menyakiti pembeli yang tidak mendapatkan barang yang dibelinya. Rasulullah SAW bersabda: “ Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu. “ (H. R. Tarmiz)
  4. Jual beli utang dengan utang, seorang muslim tidak boleh menjual utang dengan utang, karena itu menjual barang yang tidak ada dengan barang yang tidak ada pula dan Islam tidak membolehkan jual beli seperti itu. Contohnya, anda mempunyai piutang dua kwintal beras pada orang lain yang akan dibayar pada suatu waktu, kemudian anda menjualnya kepadaa orang lain seharga seratus ribu pada waktu tertentu
  5. Jual beli inah, seorang muslim tidak boleh menjual suatu barng kepada orang lain dengan kredit, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli dengan harga yang lebih murah, karena jika ia menjul barang tersebut kepada pembeli seharga sepuluh ribu rupiah, maka itu seperti orang yang meminjamkan uang lima ribu rupiah dan meminta dikembalikan sebanyak sepuluh ribu rupiah. Hal ini seperti riba nasi’ah yang diharamkan al-Qur’an dan al-Hadits.
  6. Jual beli Musharah, seorang muslim tidak boleh menahan susu kambing, unta atau lembu selama berhari hari agar susunya terlihat banyak, kemudian manusia tertarik membelinya dan ia pun menjual-belikannya. Cara penjualan seperti ini merupakan kebatilan karena mengandung penipuan.2
  1. BENTUK-BENTUK LARANGAN DALAM JUAL BELI :

1.      Jual beli sah tapi terlarang
Beberapa jual beli yang tidak diperbolehkan dalam agama, yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan jual beli ini adalah:
a.       Menyakiti kepada si Penjual/Pembeli atau kepada orang lain,
Contoh : Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari pada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.
b.      Membeli suatu barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
c.       Merusak kepada ketentraman umum,
Contoh :
- Membeli barang untuk ditahan  agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu, hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum.
- Menjual suatu barang yang  berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
- Jual beli disertai tipuan berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual pada barang ataupun ukurannya dan timbangannnya. Menipu itu adalah haram dan termasuk dosa besar.
d.      Menyempitkan gerakan pemasaran,
Contoh : Mencegat orang-orang yang datang dari desa luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan Penjual, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai ke pasar. Jual beli seperti ini dianggap sah sedangkan hukumnya haram karena kaidah ulama fiqih : apabila larangan dalam urusan muamalat itu karena hal yang diluar urusan mu’amalah, larangan itu tidak menghalangi sahnya akad.

2.     Jual beli yang terlarang
a.       Terlarang sebab ahliah (ahli akad)
1)      Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikatagorikan  sahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
2)      Jual beli terpaksa
Menurut Ulama Hanafiyah hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli  fudul  (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf) oleh karena itu keabsahan ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa), menurut ulama malikiyah tidak lazim baginya ada  khiyar. Adapun menurut Ulama Syafi’iyah ddan Hanabilah jual beli tersebut tidak sah sebab  tidak ada keridhaan ketika akad.
3)      Jual beli fudul (jual beli tanpa seizin pemiliknya)
adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah jual beli ini ditangguhkan sampai ada izin dari pemiliknya,adapun menurut ulama Hanabilah dn syafi’iyah jual beli fudul tidak sah.
4)      Jual beli yang terhalang.
Jual beli disini adalah  terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit, karena orang bodoh suka menghamburkan uang (pemboros).
5)      Jual beli malja’ (jual beli orang yang sedang bahaya). Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya yakni untuk menghindari dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut menurut Ulama Hanafiyah adalah fasid sedangkan menurut Ulama Hanabilah adalah batal.
b.      Terlarang sebab sighat
1)      Jual beli muatah
yaitu jual beli yang tidak memakai ijab dan qobul. Sebagian besar Ulama’ sepekat bahwa jual beli ini tidak sah tapi sebagian Ulama Syafi’iyah seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli seperti ini dikembaikan kepada kebiasaan.
2)      Jual beli melalui surat atau melalui utusan
3)      Jual beli dengan isyarat atau tulisan
4)      Jual beli yang tidak ada di tempat akad
5)      Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qobul
6)      Jual beli munjiz berdasarkan dengan suatu syarat atau yang ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
c.       Terlarang sebab ma’qud alaih (barang yang dijual)
1)      Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
2)      Jual beli yang tidak dapat diserahkan
3)      Jual beli garar
4)      Jual beli barang najis dan yang terkena najis
5)      Jual beli air
6)      Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
7)      Jual beli barang yang tidak ada di tempat (gaib)  tidak dapat dilihat
8)      Jual beli sesuatu yang belum dipegang
9)      Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
d.      Terlarang sebab syara’
1)      Jual beli riba
2)      Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
3)      Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
4)      Jual beli waktu azan Jum’at
5)      Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
6)      Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil 
7)      Jual beli barang yang dibeli oleh orang lain
8)      Jual beli memaki syarat.3

Endnote:
[1] Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah ( Jakarta: Rajawali pers, 2014), hal. 119-128
[2] Hakim Lukman, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam (Jakarta : Erlangga, 2005), hal. 114-116
[3] Mukarromah S “Jual Beli Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen”Digilib.uinsby.ac.id diakses pada 3 Oktober 2017.        

Hadis Tentang Etos Kerja Dan Kewirausahaan



 Hadis Tentang Etos Kerja Dan Kewirausahaan



A.    Etos Kerja
1.      Etos
Etos berasal dari Bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan juga masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dan dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut mengandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Karena etos berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, hendaknya setiap pribadi muslim harus mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif dan ada semacam kerinduan untuk menunjukkan kepribadiannya sebagai seorang muslim dalam bentuk hasil kerja serta sikap dan perilaku yang menuju atau mengarah kepada hasil yang lebih sempurna. Akibatnya, cara dirinya mengekspresikan sesuatu selalu berdasarkan semangat menuju kepada perbaikan (improvement) dan terus berupaya dengan amat bersungguh-sungguh menghindari yang negatif (fasad).
Etos yang juga mempunyai makna nilai moral adalah suatu pandangan batin yang mendarah daging. Dia merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, bahkan sempurna, nilai-nilai Islam yang diyakininya dapat diwujudkan. Karenanya, etos bukan sekedar kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi, dia adalah martabat, harga diri dan jati diri seseorang. Dengan demikian, yang dimaksud etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna pada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal.
2.      Kerja
Makna pekerjaan terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu sebagai berikut:
  1. Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga tumbuh rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. Bekerja bukan sekedar mencari uang, bekerja itu adalah ibadah sebuah upaya untuk menunjukkan performance hidupnya di hadapan Illahi.
  2. Apa yang dia lakukan tersebut karena kesengajaan, sesuatu yang direncanakan. Karenanya, didalamnya terkandung suatu gairah semangat untuk mengarahkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga apa yang dikerjakannya benar-benar memberi kepuasan dan manfaat.
Di sisi lain makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Secara lebih hakiki, bekerja bagi seorang muslim merupakan ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Illahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya kami menguji mereka siapakah yang terbaik amalnya.” (al Kahfi: 7)
Ayat ini telah mengetuk setiap hati pribadi muslim untuk mengaktualisasikan etos kerja dalam bentuk mengerjakan sesuatu dengan kualitas yang tinggi. Mereka sadar bahwa Allah menguji dirinya untuk menjadi manusia yang memiliki amal atau perbuatan yang baik, bahkan mereka pun sadar bahwa persyaratan untuk berjumpa dengan Allah hanyalah dengan berbuat amal-amal yang prestatif. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan bekerja adalah upaya untuk mengisi kualitas hidup Islami, yaitu lingkungan kehidupan yang dilahirkan dari semangat tauhid, yang dijabarkan dalam bentuk amal prestatif (amal shaleh).

3.      Falsafah gerak
Bekerja bagi umat Islam disamping dilandasi oleh oleh tujuan-tujuan yang bersifat duniawi, juga sebagai wujud beribadah. Dengan bekerja seseorang akan mendapatkan hasil yang memungkinkannya bisa makan, berpakaian, tinggal di sebuah rumah, memberi nafkah keluarga, dan menjalankan bentuk ibadah secara baik. Dari hasil kerja inilah manusia dapat membayar zakat, bersedekah kepada yang lemah dan berinfak untuk kepentingan pembangunan umat Islam secara keseluruhan. Menurut Islam, seorang muslim yang bekerja hendak semata-mata diniatkan untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْبِ الخَطَا بِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ٳِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ  وَٳِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَ تُهُ ٳِلَ اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ ٳِلَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَا نَتْ هِجْرَتُهُ لِدُ نْيَا يُصَيْبُهَا أَوْ اَمْرَأَةٍ يَنْكَحُهَا فَهِجْرَ تُهُ ٳِلَى مَا هَاجَرَ ٳِ لَيْه (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)
“Dari Amir al-Mukminin Abu Hafsh ‘Umar ibn al-Kaththab r.a katanya, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasulullah, maka hijrahnya itu diterima oleh Allah dan Rasullah. Dan barangsiapa hijrahnya karena keuntungan dunia yang ingin diperolehnya atau perempuan yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya aitu terhenti pada apa yang ia niatkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdiannya kepada Allah SWT. Hidup adalah gerak dan gerak itulah yang menunjukkan tanda kebermaknaan dalam hidup.
Umat Islam bukanlah umat yang terpenjara oleh ibadah ritual, melainkan sangat terobsesi untuk mewujudkannya dalam bentuk gerak yang memberikan rahmat bagi sekitarnya. Umat Islam harus keluar dari penjara kemandekan (statis) karena sifat yang statis dan kehilangan ruh untuk berkreasi (ijtihad dalam bidang amaliyah) merupakan tanda-tanda kematian.
Demikianlah sikap yang paling agresif dalam etos kerja muslim adalah sikap mental yang dinamis, bergerak. Dengan etos kerjanya itu, mereka selalu siap untuk melontarkan sebuah jawaban, “Inilah pekerjaan dan prestasiku. Semoga apa yang ku perbuat memberikan nilai sebagai rahmatan lil ‘alamin dan semoga Allah mencatatnya sebagai amal shaleh.” Penghargaan Islam atas hasil karya dan upaya manusia untuk bekerja ditempatkan pada dimensi yang setara setelah iman, bahkan bekerja dapat menjadikan jaminan diampuninya dosa-dosa manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah, ”Barangsiapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, bekerja dengan tangannya sendiri, maka di waktu sore itupulalah ia terampuni dosanya.” (HR Thabrani dan Baihaqi)1
B.     Kewirausahaan
Kata wirausaha (enterpreneur) berasal dari kata wira yang berarti teladan atau contoh dan usaha yang bermakna kemauan keras memperoleh manfaat. Jadi, wirausahawan berarti seorang yang berkemauan keras dalam melakukan tindakan dan perbuatan yang bermanfaat sehingga layak dijadikan teladan.Kewirausahaan adalah proses manusia untuk berinovasi dan berkreativitas dalam memahami peluang, mengorganisasi sumber – sumber, mengelola dan menjadikannya sebagai sebuah usaha yang mengahasilkan keuntungan atau nilai untuk jangka waktu yang lama.2
Sedangkan kewirausahaan bermakna sebagai proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi. Jeffery A. Timmons mendefinisikan kewirausahaan sebagai tindakan kreatif manusia membangun sesuatu yang bernilai dari tiada suatu apapun. Kewirausahaan dipandang sebagai kemampuan dalam memburu kesempatan tanpa menghiraukan keterbatasan kemampuan yang dimiliki, kemampuan dan keberanian dalam mengambil risiko, dan keahlian untuk memimpin orang lain kearah wawasan yang telah ditentukan.
Seorang wirausahawan mempunyai kemampuan untuk berdiri sendiri, berdaulat, merdeka lahir dan batin, mempunyai sifat mental dan jiwa yang selalu aktif untuk mengejar peluang, serta mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different). Entrepeneur dapat lahir kapan saja dan dimana saja, menurut Peter F. Drucker ada tujuh kemungkinan dapat melahirkan wirausaha baik dalam bisnis maupun di dalam lembaga-lembaga publik, antara lain:
  1. Hal yang tidak terduga (the unexpected),
  2. Ketidaksesuaian dalam kenyataan,
  3. Invensi berdasar kebutuhan,
  4. Perubahan dalam struktur industri,
  5. Perubahan dalam demokrasi,
  6. Perubahan persepsi dan arti, dan
  7. Ilmu pengetahuan baru.3
                 Hadits – Hadits Tentang Bekerja Keras / Berwirausaha
Rasulullah SAW menganjurkan agar seseorang bekerja dan berwirausaha agar dapat hidup mandiri, tanpa bergantung pada pemberian orang lain. Orang yang meminta-minta tidak hanya akan sengsara di dunia tetapi ketika hari kiamat kelak diwajahnya tidak ada sekerat dagingpun sebagaimana sabda Rasulullah SAW.


عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْن أَبِيْ جَعْفَرٍ قَالَ سَمِعْتُ حَمْزَةَ بْنَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَاللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ : مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَ لُ النَّاسَ حَتَّى يَأْ تِيَ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ (روه البخري)
Artinya:”Dari ‘Abd Allah ibnAbi Ja’far katanya: Aku mendengar Hamzah ibn ‘Abd Allah ibn ‘Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain hingga pada hari kiamat datang tanpa sekerat dagingpun diwajahnya.” (HR. Al-Bukhari).
Rasulullah menganjurkan etos kerja yang tinggi, sebagai wujud dedikasi manusia dalam menjalani kehidupannya. Kata etos sendiri memiliki makna sikap, kepribadian, watak dan juga karakter. Etos terbentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakini. Para sahabat Nabi merupakan orang-orang yang bekerja untuk diri mereka sendiri dan mereka mempunyai etos kerja yang tinggi, sebagaimana telah dijelaskan oleh hadis dibawah ini:

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قَالَتْ عَا ئِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَ أَصْحَا بُ رَسُلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ عُمَّا لَ أَنْفُسِهِمْ وَكَانَ يَكُونُ لَهُمْ أَرْوَاحٌ........ (زواه الْبُخَاري)
Artinya:”Dari ‘Urwah, katanya: ‘Aisyah r.a. berkata,”para sahabat Rasulullah SAW adalah pekerja untuk diri mereka sendiri dan mereka mempunyai etos kerja...” (HR. Al-Bukhari).
Rasulullah menganjurkan agar umatnya rajin bekerja dan berwirausaha karena cara demikian adalah yang terbaik bagi diri mereka, bahkan Nabi Dawud a.s., bekerja dan memenusi kebutuhan hidupnya dari pekerjaan atau hasil buah tanganya, sebagaimana dalam hadis:

عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَا مًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَاْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَٳِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْ كُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
 (رَوَاهُ الْبُخَا رِيُ)
Artinya: “Dari Miqdam r.a. dari Rasulullah SAW ia bersabda “Tidaklah seseorang makan-makanan yang lebih baik daripada makan hasil kerjanya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud a.s. makan dari hasil buah tangan (pekerjaan)-nya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).
Menurut Islam, seorang muslim yang bekerja hendak semata-mata diniatkan untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْبِ الخَطَا بِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ٳِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ  وَٳِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَ تُهُ ٳِلَ اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ ٳِلَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَا نَتْ هِجْرَتُهُ لِدُ نْيَا يُصَيْبُهَا أَوْ اَمْرَأَةٍ يَنْكَحُهَا فَهِجْرَ تُهُ ٳِلَى مَا هَاجَرَ ٳِ لَيْه (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)
Dari Amir al-Mukminin Abu Hafsh ‘Umar ibn al-Kaththab r.a katanya, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasulullah, maka hijrahnya itu diterima oleh Allah dan Rasullah. Dan barangsiapa hijrahnya karena keuntungan dunia yang ingin diperolehnya atau perempuan yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya aitu terhenti pada apa yang ia niatkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
  1. Karakteristik Wirausaha dan Tujuannya
Karakteristik wirausahawan yang perlu dimiliki dan dikembangkan, antara lain sebagai berikut :
1.      Berwatak luhur.
2.      Kerja keras dan disiplin.
3.      Mandiri dan realistis.
4.      Prestatif dan komitmen tinggi.
5.      Berpikir positif dab bertanggung jawab.
6.      Dapat mengendalikan emosi.
7.      Tidak ingkar janji, menepati janji dan waktu.
8.      Belajar dari pengalaman.
9.      Memperhitungkan risiko.
10.  Merasakan kebutuhan orang lain.
11.  Bekerja sama dengan orang lain.
12.  Menghasilkan sesuatu untuk orang lain.
13.  Memberi semangat orang lain.
14.  Memberi jalan keluar bagi setiap permasalahan.
15.  Merencanakan sesuatu sebelum bertindak.
Sedangkan, menurut By Grave, karakteristik wirausahawan meliputi 10 D yaitu :
1.      Dream, seorang wirausaha harus mempunyai tujuan atau visi untuk mewujudkan impian pribadinya maupun impian untuk usahanya. Bagi seorang wirausaha muslim impian disini sepatutnya bukan hanya mengarah pada keberhasilan dunia semata namun juga harus mengarah pada kehidupan kelak di akhirat.
2.      Decisiveness, kecepatan dan ketepatan mengambil keputusan adalah faktor kunci dalam kesuksesan bisnis. Seorang wirausaha harus pintar membuat keputusan secara cepat dengan penuh perhitungan. Bagi seorang wirausaha muslim untuk mengambil keputusan harus didasarkan pada syariat – syariat yang berlaku, bukan hanya pengambilan keputusan yang sifatnya cepat tapi tidak didasarkan pada syariat – syariat yang berlaku.
3.      Doers, yaitu seorang wirausaha dalam membuat keputusan akan langsung menindaklanjuti dan tidak menunda – nunda kesempatan yang baik dalam usahanya.
4.      Determination, seorang wirausaha harus bersungguh – sungguh dalam melaksanakan usahanya. Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan tidak menyerah walau dihadapkan pada halangan dan rintangan yang sulit.
5.      Dedication, seorang wirausaha memiliki dedikasi yang tinggi yaitu dengan memusatkan perhatian dan kegiatannya untuk kelancaran usahanya. Memusatkan perhatian dan kegiatan disini bukan berarti menggunakan seluruh waktunya untuk kelancaran usaha dan meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim.
6.      Devotion, yaitu mencintai usaha dan produk yang dihasilkan.
7.      Details, seorang wirausaha harus memperhatikan segala faktor yang mempengaruhi usahnya. Dengan tidak meninggalkan faktor – faktor kecil yang menghambat kelancaran usahanya.
8.      Destiny, bertangung jawab terhadap nasib dan tujuan yang hendak dicapainya, bebas dan tidak mau bergantung pada oran lain.
9.      Dollars, seorang wirausaha tidak mengutamakan kekayaan atau uang sebagai tujuan atau motivasinya dalam berusaha.
10.  Distribute, bersedia bekerja sama dan memercayai seseorang untuk diajak membangun usaha dan mencapai tujuan di bidan yang sama.4
Tujuan Kewirausahaan yaitu :
1.      Meningkatkan jumlah wirausaha yan berkualitas.
2.      Mewujudkan kemampuan dan kemantapan para wirausaha untuk mengahasilkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
3.      Membudayakan semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan dikalangan masyarakat yang mampu, andal dan unggulan.
4.      Menumbuh kembangkan kesadaran dan orientasi kewirausahaan yang tangguh dan kuat terhada masyarakat.5

EndNote
[1] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 15-34.
[2] Basrowi, Kewirausahaan Untuk Perguruan Tinggi, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2011), hal. 57

[3]Idri, Hadis Ekonomi Ekonomi dalam Perspektif Nabi (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 290-292.
[4] Basrowi, Kewirausahaan Untuk Perguruan Tinggi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), hal. 10 – 11
[5] Basrowi, Kewirausahaan Untuk Perguruan Tinggi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), hal. 7







Hadis-Hadis Ekonomi

Hadis Tentang Larangan Jual Beli

Hadis Tentang Larangan Jual Beli JENIS JUAL BELI YANG DILARANG DALAM ISLAM Transaksi jual beli merupakan kegiatan yang sud...

Hadis Ekonomi Islam