Senin, 16 Oktober 2017

Hadis Tentang Jual beli & Riba

Hadis Tentang Jual Beli & Riba

            A. Pengertian Jual Beli
Kata jual beli terdiri dari dua kata, yaitu jual dan beli.Kata jual dalam bahasa arab dikenal dengan istilah al-bay’yaitu bentuk mashdar dari ba’a – yabi’u – bay’an yang artinya menjual.Adapun kata beli dalam bahasa arab dikenal dengan istilah al-syira’ yaitu mashdar dari kata syara yang artinya membeli. Secara etimologi, jual beli diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan yang lain atau memberikan sesuatu untuk menukarkan sesuatu  yang lain.1 Jual beli atau dalam bahasa arab  al-bai’ menurut etimologi adalah :
مُقَا بَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْءٍ
“Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.”
Jual beli menurut bahasa adalah tukar-menukar apa saja, baik antara barang dengan barang, barang dengan uang, uang dengan uang.2
B.Syarat-Syarat Jual Beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu
1.                   Syarat in’iqat (terjadinya akad)
2.                   Syarat sahnya jual beli
3.                   Syarat kelangsungan jual beli (syarat nafadz)
4.                   Syarat mengikat (syarat luzum)
Maksud diadakannya syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya perselisihan diantara manusia, menjaga kemaslahatan pihak-pihak yang melakukan akad, dan menghilangkan sifat gharar (penipuan). Apabila syarat in’iqad  (terjadinya akad) rusak (tidak terpenuhi) maka akad menjadi batal.3
C.Syarat Sah Jual Beli
            Syarat sah jual beli terbagi menjadi dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara’ . secara global akad jual beli harus terhindar dari enam macam aib:
1.             Ketidakjelasan
2.             Pemaksaan
3.             Pembatasan dengan waktu
4.             Penipuan
5.             Kemudaratan
6.             Syarat-syarat yang merusak
D.Rukun Jual Beli
Rukun jual beli terdiri atas tiga macam:
1.                   Akad
Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan. Hal ini karena ijab kabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak kerelaan kedua belah pihak. Pada dasarnya ijab kabul itu harus dilakukan dengan lisan. Akan tetapi, kalau tidak mungkin, misalnya karena bisu, jauhnya barang yang dibeli, atau penjualnya jauh boleh dengan perantaraan surat-menyurat yang mengandung arti ijab kabul itu.
Hadis Rasululloh SAW. Menyatakan:
عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيَغْتَرِقَنَّ
إِتَنَا نِ إِلاَّ عَنْ تَرَاضٍ.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r,a, dan Nabi SAW, beliau bersabda, “dua orang yang berjual beli belumlah boleh berpisah, sebelum mereka berkerelaan.”
(H.R. Abu Dawud dan Tirmizi)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Said r.a. disebutkan:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.
Artinya:                                                                  
Rasululloh SAW, telah bersabda, “jual beli baru dianggap sah kalau sudah berkerelaan.”(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, pada jual beli yang kecil pun harus disebutkan lafal ijab kabul, seperti jual beli lainnya. Akan tetapi, Naawawi dan kebanyakan ulama Mutaakhirin dari ulam Syafi’iyah tidak mensyaratkan akad pada barang yang tidak begitu tinggi hargannya, seperti jual beli sebungkus rokok dan lain-lainnya. Hakikat jual beli yang sebenarnya ialah tukar menukar yang timbul dari kerelaan harus diketahui dengan qorimah (tanda-tanda), yang sebagiannya ialah dengan ijab kabul.
Syarat sah ijab kabul:
a.                   Tidak ada yang membatasi (memisahkan).si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.
b.                   Tidak diselingi oleh kata-kata lain.
c.                   Tidak dita’likan. Umpamannya,
d.                  Tidak dibatasi waktunya. Umpamanya, “Aku jual barang ini kepadamu untuk sebulan saja”, dan lain-lain.
Jual beli seperti ini tidak sah sebab suatu barang yang sudah dijual menjadi hak milik bagi si pembeli untuk selama-lamanya, dan sipenjual tidak berkuasa lagi atas barang itu.
2.                   Orang yang berakad
Bagi orang yang berakad diperlakukan beberapa syarat.
a.                   Balig (berakal) agar tidak mudah ditipu orang. Tidak sah akad anak kecil, orang gila, atau orang bodoh sebab mereka bukan ahli tasarruf (pandai mengendalikan harta). Oleh sebab itu, harta benda yang dimiliki sekalipun tidak boleh diserahkan kepadanya.
b.                   Beragama islam. Syarat ini hanya tertentu untuk pembelian saja, bukan untuk penjual, yaitu kalau di dalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Alloh walaupun satu ayat, seperti membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab hadis Nabi. Begitu juga kalau yang dibeli adalah budak yang beragama islam dan kaum muslimun sebab mereka berhak berbuat apa pun pada sesuatu yang sudah dibelinya.
3.                   Barang yang diperjualbelikan (Ma’kud Alaihi)
Syarat barang yang diperjualbelikan adalah sebagai berikut.
a.                   Suci aatau mungkin disucikan. Tidaklah sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi, dan lain-lainnya.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ جَا بِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ عَنِ اْلمُحَا قَلَةِ
وَالْمُحَا قَلَةِ وَلمُخَا ضَرَةِ وَالْمُخَا ضَرَةِ وَلْمُلاَ مَسَةِ وَالْمُنَا بذَ ةِ وَالْمُزَابَنضةِ .
Artinya:
“Dari Jabir r.a. bahwa Rasululloh SAW. Besabda, sesunggunya Alloh dan Rasul telah mengharumkan jual-beli arak, bangkai, babi, dan berhala.”
(H.R.Bukhari dan Muslim)
b.                   Memberi manfaat menurut syara. Tidaklah sah memperjualbelikan jangkrik, ular, semut, atau binatang buas. Harimau, buaya dan ular boleh dijual kalu hemdak diambil kulitnya untuk disamak, dijadikan sepatu, dan lain-lain, namun tidak sah bila digunakan untuk permainan karena menurut syara’ tidak ada manfaatnya. Begitu juga alat-alat permainan yang meninggalkan kewajiban kepada Alloh .
c.                   Dapat diserahkan secara cepat atau lambat. Tidaklah sah menjual binatang-binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, atau barang-barang yang hilang, atau barang yang sulit dihasilkannya.
d.                  Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain tanpa seizin pemiliknya atau menjual barang yang hendak menjadi milik.
e.                   Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyak, berat atau jenisnya. Tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak
  1. Jual Beli Yang Terlarang Dan Tidak Sah
          Barang-barang yang dilarang diperjualbelikan serta membatalkan ijab kabul adalah sebagai berikut:
1.             Barang yang dihukumi najis oleh agama, umpamanya anjing, babi dan sebagainya (lihat syarat berjual beli diatas). Setiap barang yang dilarang diperjualbelikan dapat membatalkan ijab kabul.
2.             Bibit (mami) binatang ternak, dengan cara meminjamkannya untuk mengambil keturunannya. Jual beli itu itu batal kkarena ukuran barangnya tidak kelihatan.
3.             Anak binatang yang akan dikandung oleh anak yang masih di dalam kandungan induknya. Dilarang memperjualbelikannya karena barang yang diperjualbelikan itu belum ada.
4.             Bi Muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih diladang atau disawah dengan tamar (gandum) secara katian.hal ini karena mahaqalah berasal dari haqalah yang berarti tanah,sawah, atau kebun. Ini dilarang oleh agama karena mengandung unsur riba di dalamnya sebab tidak diketahui persamaanya.
5.             Bi Mukhadarah, yaitu jual-beli buah-buahan sebelum nyata baiknya dipetik, atau dinamakan jual-beli buah biji muda atau ijon. Hal ini dilarang karena belum jelas hasilnya, kecuali kalau sudah nyata dan dapat diambil manfaatnya.
6.             Bi Mulamasah, yaitu jual beli secara sentuhan. Seorang seseorang menyentuh suatu barang, umpamanya, dengan tangannya di waktu malam atau siang,tanpa membalikkan atau mengembangkannya. Bila barang itu tersentuh, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan mungkin merugikan salah satu pihak.
7.             Bi Muzabah, yaitu jual beli secara lemparan.
8.             Bi Muzanabah, menjual buah yang basah dengan buah yang kering.
Hadis Rasululloh menyatakan:
عَنْ
Artinya:
“Dari Anas r.a. ia berkata, “Rasululloh SAW telah melarang melakukan mahaqalah, mukhadarah, mulamasah, munabazah, dan muzanabah.”
9.             Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.
10.         Penjualan bersyarat
11.         Bi gurur (jual beli yang sudah jelas mengandung tipuan), seperti menjual ikan di dalam air (kolam) atau menjual barang yang dari luarnya kelihatan baik, tetapi di dalamnya buruk, dan yang sejenisnya.4
  1. Jual Beli Yang Terlarang, Tetapi Sah
Ada beberapa jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah dilakukan dan orang yang melakukannya mendapat dosa.
1.      Menemukan kafilah yang hendak pergi ke pasaruntuk membeli barang-barangnyadengan harga semurah-murahnya sebelum mereka tahu harga pasaran kemudian menjual barang dengan harga yang setinggi-tingginya. Perbuatan ini menyulitkan orang lain apalagi bila barang yang dibawa adalah keperluan pokok, seperti bahan makanan, pakaian, dan lain-lainnya.
2.      Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain sebelum ada ketetapan hargannya. Seseorang berkata kepada pedagang barang, “tolaklah harga tawarannya itu, aku akan membeli dengan harga yang lebih mahal.” Hal ini dilarang oleh agama karena menyakitkan hati orang lain.
3.      Bi Najasyi, menambah atau melebihi harga, tetapi bukan bermaksud hendak membeli, melainkan memancing orang lain untuk membeli barang tersebut. Hal ini banyak kita temui di kalangan para pedagang yang bekerja sama dalam penjualan suatu barang. Perbuatan ini dilarang karena menyakitkan hati pembeli.
4.      Menjaul diatas penjualan orang lain. Seseorang berkata kepada si pembeli,”kembalikan saja barang itu, aku akan menjual barangku dengan harga yang lebih murah.”hal ini dilarang oleh agama karena menyakitkan hati si penjual.
Segala macam penjualan di atas dilarang, bukan karena syarat dan rukunnya yang tidak mencukupi, tetapi menyempitkan hidup manusia dan menyakitkan hati pembeli atau penjual.
A.Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti al-ziyadah (tambahan) atau al-nama (tumbuh). Pertambahan disini dapat disebabkan oleh faktor intern atau ekstern. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.5
B.  Riba Dalam Perspektif Hadis Nabi
Apabila terminologi riba dalam al-Qur’an digunakan dalam konteks kaitannya dengan utang piutang, lain halnya dalam Hadis Nabi, meskipun dasar rujukannya berpangkal dari permasalahan utang piutang , namun juga dapat berupa pinjaman atau pembayaran jual beli yang ditangguhkan. Di samping itu, pembicaraan  tentang riba dalam Hadis Nabi juga berkaitan dengan bentuk - bentuk jual beli tertentu yang dipraktikan pada masa pra – Islam. Dalam salah satu sabdanya Nabi Muhammad menjelaskan bahwa semua praktik riba pada masa pra – Islam adalah batal dan tidak berlaku. Sebagaimana dikutip oleh Usama bin Zayd yang  mengatakan bahwa yang dimaksud dengan riba hanyalah dalam penangguhan (nai’ah). Hadis ini tampaknya menunjukkan kebiasaan yang dipraktikkan pada masa pra – Islam.
Hadis – Hadis yang  menerangkan tentang riba kebanyakan berkaitan dengan transaksi jual beli. Misalnya Hadis yang membicarakan tentang riba berikut
عَنْأَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيٌ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّ هَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبِرُّ بِالْبِرَّ وَالشَّعِيْرُ بِا لشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُبِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ
 فَمَنْ زَادَ أَوِاسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
“Diriwayatkan oleh Abu Said al – Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama – sama salah.” (HR. Muslim)
              C.Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dibagi menjadi dua, yakni:6
1.    Riba utang-piutang:
a.    Riba Qardh
Adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berhutang. Misalnya, orang yang berhutang seratus ribu rupiah diharuskan kembali membayar seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah adalah riba qardh.
b.    Riba Jahiliyyah/Riba Yad
Adalah utang yang dibayarkan lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan. Biasanya jika peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan, maka bunganya akan bertambah sejalan dengan waktu tenggakan.

2.    Riba jual-beli:
a.    Riba Fadhl
Adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk kedalam jenis barang ribawi. Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenis atau bentuknya.
b.    Riba Nasi’ah
Adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

 Sebab-Sebab Dilarangnya Riba, Hukum dan Ancaman Pelaku Riba
v  Adapun sebab-sebab dilarangnya riba yakni:
a.    Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilik harta dari orang lain tanpa ada imbalan.
b.    Riba menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah membiayai hidupnya, cukup dengan bunga berjangka itu.
c.    Jika riba diperbolehkan, masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya tidak segan-segan meminjam uang walupun bunganya sangat tinggi.
d.   Dengan adanya riba biasanya pemodal menjadi semakin kaya dan peminjam semakin miskin.
e.    Larangan riba sudah ditetapkan oleh nash.7
f.     Mencegah para rentenir berbuat zalim kepada penerima pinjaman karena praktik riba berarti pemberi pinjaman mengeksplorasi penerima pinjamandengan meminta bunga atas pinjaman yang diberikan.8

v  Hukum riba
a.    Kelompok pertama:
Mengharamkan riba yang berlipat ganda karena diharamkan al-qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja yakni riba nasi’ah terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasiah. Karenanya selain riba nasiah maka diperbolehkan.
b.    Kelompok kedua:
Mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba dilarang dalam Islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda maupun tidak.9

Para ulama fiqh, sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba hukumnya adalah haram. Keharaman ini dapat ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah.10
v  Ancaman bagi pelaku riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيمٌ أَخْبَرَنَا أَبُؤ الزُّبيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَا تِبَهُ وَشَاهِدَينِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberiannya, penulisnya, kedua saksinya, mereka semua sama. (H.R. Muslim)
Riba diharamkan baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.11

Endnote:
[1]  Prof. Dr. H. Idri M.Ag, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama), Jakarta:Prenadamedia Group, 2015, Hlm 155
[2] Ahmad wardi, fiqh muamalat (jakarta: amzali,2015) hal 173-174
[3] Ibid, hal 186-187
[4] Ibnu mas’ud dan zainal abidin, fiqih (bandung : CV pustaka setia, 2007) hal 33-39.
[5] Prof. Dr. H. Idri M.Ag, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama), Jakarta:Prenadamedia Group, 2015, Hlm 181
[6] Prof. Dr. H. Idri M.Ag, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama), Jakarta:Prenadamedia Group, 2015, Hlm 192
[7] Prof. Dr. H. Idri M.Ag, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama), Jakarta:Prenadamedia Group, 2015, Hlm 195
[8] Ir. Adiwarman A. Karim & Dr. Oni Sahroni, Riba,Gharar,dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah, Jakarta:Rajawali Pers, 2015, hlm. 13
[9] Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, Malang:UIN Maliki Press, 2012, hlm. 136
[10] Dr. H. Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 181
[11] Ilfi, hlm. 131

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hadis-Hadis Ekonomi

Hadis Tentang Larangan Jual Beli

Hadis Tentang Larangan Jual Beli JENIS JUAL BELI YANG DILARANG DALAM ISLAM Transaksi jual beli merupakan kegiatan yang sud...

Hadis Ekonomi Islam